Sinyal pemulihan harga batubara ini muncul beberapa bulan terakhir, setelah sepanjang tahun 2020 mengalami tekanan akibat pandemi Covid-19. Harga Batubara kembali pulih (rebound) dalam empat bulan terakhir setelah sepanjang tahun 2020 tertekan akibat pandemi Covid-19, yaitu Oktober 2020 (US$ 51 per ton), November 2020 (US$ 55,71 per ton), Desember 2020 (US$ 59,65 per ton), dan Januari (US$ 75,84 per ton). Kenaikan harga batubara ini menjadi tren positif untuk industri batubara tanah air.
Beberapa faktor yang menyebabkan HBA menunjukkan tren kenaikan diantaranya adalah adanya pengurangan produksi di semua negara eksportir batubara, hal ini dilakukan karena untuk mengimbangi sejumlah permintaan batubara selama pandemi di tahun 2020. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), volume ekspor batubara hingga Juli 2020 hanya 238 juta ton dengan nilai US$10,13 miliar. Dimana nilai ekspor batubara ini turun drastis dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2019 yaitu sebesar US$12,36 miliar. Di Indonesia sendiri, realisasi produksi batubara hingga bulan Agustus lalu turun 11% secara year on year (yoy) menjadi 362 juta ton.
Kedua, permintaan yang tinggi dari negara-negara importir yang bermusim dingin di bulan Januari seperti China. Alasan ketiga adalah dengan keterbatasan jumlah produksi batubara karena pandemi dan juga iklim di Indonesia mengalami curah hujan yang tinggi, membuat supply menjadi lebih terbatas. Selain itu juga di negara produsen batubara seperti Australia yang menerapkan libur akhir tahun. Australia sebagai produsen batubara terbesar ke-3 sejak tahun 2016 yaitu volume produksinya mencapai 299,3 juta ton. Langkah ekonomi terhadap batu bara Australia merupakan yang terbaru dari serangkaian sanksi perdagangan yang dijatuhkan oleh Beijing. Hubungan antara Australia dan China terus menurun setelah seruan Canberra untuk penyelidikan independen tentang asal-usul Covid-19. Padahal pada tahun lalu, Australia mengekspor batu bara senilai hampir USD14 miliar ke China.
Adanya dampak pembatasan impor batubara dari Australia, China melakukan kesepakatan perdagangan antara Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) dengan China Coal Transportation and Distribution. China menyatakan berencana membeli batubara termal senilai US$ 1,467 miliar, sekitar Rp 20 triliun, dari Indonesia tahun depan.
Alasan keempat adalah tren kenaikan Harga Batubara Acuan yang dipengaruhi oleh kebijakan lingkungan terhadap pemakaian batubara di China sejak kuartal IV-2020. Hal ini dikarenakan 69% persen energi di China masih bergantung dari batubara dan konsumsi sendiri China memiliki kecenderungan tren yang meningkat terhadap batubara yaitu sekitar 59%. Serta permintaan batubara dunia diperkirakan akan meningkat seiring dengan datangnya perayaan Tahun Baru Imlek di China, yang merupakan konsumen batubara terbesar di dunia.
Namun di satu sisi ada sentimen positif yaitu pemulihan ekonomi global dan kenaikan permintaan batubara dari China.
Saham Sektor Pertambangan Kompak Menguat
Kenaikan Harga Batubara Acuan ini menjadi pemicu kenaikan harga saham-saham perusahaan batubara yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pada perdagangan 5 Februari 2021, saham-saham pertambangan yang mengalami kenaikan diantaranya adalah saham BUMN pertambangan yaitu PT Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA). PTBA mengalami kenaikan harga acuan batubara hingga sebesar 80 poin atau 3,23% ke posisi Rp2.560 per lembar saham. Diikuti juga saham BUMI yang meningkat 12,5% ke harga Rp,63 per lembar saham dan dalam satu grup yang sama yaitu BRMS yang meningkat 5 poin ke harga Rp87/lembar. sedangkan penguatan paling minor dibukukan oleh PT Adaro Energy Tbk (ADRO) yang menguat 2,58% ke Rp 1.195/lembar.
Bukit Asam (PTBA) Fokus Jual Batubara ke Pasar Domestik
Anak usaha dari MIND ID ini menilai kenaikan harga batubara di pasar global menjadi sinyal positif akan pulihnya permintaan dari negara-negara importir, khususnya negara China yang menjadi konsumen utama batubara. Terkait hal tersebut, Manajemen Bukit Asam memastikan akan tetap fokus memprioritaskan penjualan batubara di dalam negeri. Karena melihat dari laporan tahunan PTBA di tahun 2019, komposisi pasar penjualan batubara didominasi oleh pasar domestik dengan komposisi mencapai 60%. Hal ini berkaitan dengan komitmen PTBA dalam mendukung dan berupaya memenuhi kebijakan domestic market obligation (DMO) yang telah diarahkan oleh pemerintah melalui ESDM. Dimana kebutuhan batubara di Indonesia sangat tinggi di sektor pembangkit listrik.
Menurut data tahun 2020, realisasi pemanfaatan batubara domestik mencapai 132 juta ton. Pemanfaatan batubara dalam negeri telah menyerap 55% produksi PTBA pada tahun 2020. Sedangkan, pada tahun ini PTBA menargetkan volume pemanfaatan batubara domestik sebesar 137,5 juta ton.
Selain itu perseroan juga terus berupaya untuk mendorong penjualan ekspor ke berbagai negara seperti India, Hongkong, Filipina, Taiwan, Hongkong, Thailand, China dan negara kawasan Asia lainnya. PTBA juga menyasar penjualan produk batubara Medium to High Calorie pada pasar premium, dengan tujuan untuk memperbesar margin dan meningkatkan kinerja laba.
PTBA terus mengembangkan hilirisasi produk batubara berkalori rendah melalui proyek Gasifikasi. Pengembangan hilirisasi ini dilakukan dengan mengkonversi batubara kalori rendah menjadi Dimethyl Ether (DME) dan produk kimia lainnya (urea dan polypropylene).
Dimana proyek ini dibagi menjadi 2 proyek besar yaitu :
- Proyek Gasifikasi/Hilirisasi Tambang Coal to DME
Sebagai wujud pengembangan bisnis Hilirisasi Batubara, PTBA bersama dengan Pertamina selaku off taker DME dan Air Products selaku pemilik teknologi Gasifikasi Batu bara, telah menandatangani nota kesepahaman di Allentown pada tanggal 7 November 2018. Kemudian pada tanggal 16 Januari 2019 dilanjutkan dengan penandatanganan kerangka kerjasama pendirian joint venture company. DME akan digunakan sebagai substitusi LPG sehingga mengurangi ketergantungan terhadap LPG. Proyek ini direncanakan akan mulai produksi pada tahun 2024 dengan konsumsi batubara sebesar 6,5 juta ton per tahun, dengan produksi DME sebesar 1,4 juta ton.
- Proyek Gasifikasi/Hilirisasi Coal to UDP: Urea-DMEpolypropylene
PTBA telah menandatangani Head of Agreement dengan PT Pertamina, PT Pupuk Indonesia (Persero) dan PT Chandra Asri Petrochemical pada tanggal 8 Desember
2017 untuk pembangunan pabrik Coal to Urea-DMEpolypropylene di mulut Tambang Tanjung Enim, Sumatera Selatan dengan konsumsi batubara sebesar 8,1 juta ton per tahun. Melalui teknologi gasifikasi, akan mengubah batubara menjadi syngas sebagai feedstock untuk produksi urea dengan kapasitas 570 ton per tahun, DME dengan kapasitas 400 ribu ton per tahun dan polypropylene dengan kapasitas 450 ribu ton per tahun.
Grafik Perbandingan Kinerja Saham PTBA, IHSG, dan Industri Pertambangan 2020 – 2021
Kenaikan harga batubara ini masih fluktuatif, mengingat masih ada sentimen yang bisa mempengaruhi naik dan turunnya harga seperti angka penyebaran covid-19 terpantau masih tinggi, termasuk di Indonesia. Beberapa negara pun kembali memberlakukan pembatasan sosial atau lockdown. Kondisi itu bisa membuat penggunaan listrik kembali menurun.
Dengan adanya penurunan permintaan listrik berarti pula akan ada penurunan harga batubara karena komoditas ini adalah sumber energi primer utama dalam pembangkitan listrik.Sehingga hal ini juga akan berpengaruh juga pada harga saham sektor pertambangan.