Kamis, 2 Mei 2024

MRT Jakarta dan BUMN yang Ikut Membangun

ads-custom-5

Selain LRT Jabodebek, Indonesia juga memiliki proyek untuk moda transportasi berbasis rel yang anyar bernama mass rapid transit/Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta. Proyek ini menjadi salah satu yang ditunggu tak hanya oleh segelintir pihak, namun juga seluruh masyarakat Indonesia karena hadirnya moda transportasi modern setelah berdekade Jakarta tak punya “kereta” yang baru.

 

Rencana pembangunan MRT di Jakarta sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1985. Namun, saat itu proyek MRT belum dinyatakan sebagai proyek nasional. Hingga 2005, MRT Jakarta akhirnya menemui kejelasan dengan penetapan proyek tersebut menjadi proyek strategis nasional. Maka Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai bergerak dan saling berbagi tanggung jawab. Pencarian dana disambut oleh Pemerintah Jepang yang bersedia memberikan pinjaman.

 

Pada 28 November 2006, penandatanganan persetujuan pembiayaan Proyek MRT Jakarta dilakukan oleh Gubernur Japan Bank for International Cooperation (JBIC) Kyosuke Shinozawa dan Duta Besar Indonesia untuk Jepang Yusuf Anwar. JBIC pun mendesain dan memberikan rekomendasi studi kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Telah disetujui pula kesepakatan antara JBIC dan Pemerintah Indonesia, untuk menunjuk satu badan menjadi satu pintu pengorganisasian penyelesaian proyek MRT ini.

 

Akhirnya, PT Mass Rapid Transit Jakarta (PT MRT Jakarta) berdiri pada 17 Juni 2008, berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas dengan mayoritas saham dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang berstruktur kepemilikan Pemprov DKI Jakarta sebesar 99.98% dan PD Pasar Jaya 0.02%.

 

JBIC kemudian melakukan merger dengan Japan International Cooperation Agency (JICA). JICA bertindak sebagai tim penilai dari JBIC selaku pemberi pinjaman. Dalam jadwal yang dibuat JICA dan MRT Jakarta, seharusnya pengerjaan konstruksi ditargetkan rampung pada 2014, tapi jadwal tersebut tidak terpenuhi. Desain proyek pun baru dilakukan mulai tahun 2008-2009, tahap konstruksi dilakukan mulai Oktober 2013, dan dicanangkan selesai pada 2018.

 

Pembangunan konstruksi proyek kereta MRT Jakarta dimulai pada 10 Oktober 2013 ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Presiden RI Joko Widodo. Tak hanya melibatkan PT MRT Jakarta yang sudah terbetnuk, pelaksanaan pembangunan moda baru ini juga melibatkan beberapa instansi, baik pada tingkatan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, hingga sejumlah BUMN.

 

ADHI Ikut Andil di Fase 2

Pagar sementara penanda sedang berlangsungnya konstruksi MRT Jakarta. Foto: dok. MRT Jakarta
Pagar sementara penanda sedang berlangsungnya konstruksi MRT Jakarta. Foto: dok. MRT Jakarta

Setelah berpuluh tahun penantian, pada 24 Maret 2019, MRT pertama di Indonesia itu resmi beroperasi. Pada setahun operasionalnya, MRT Jakarta telah mengangkut 30 juta penumpang dengan rata-rata penumpang mencapai sekitar 90 ribu orang per hari. Direktur Utama PT MRT Jakarta William P. Sabandar mengklaim capaian ini melampaui target semula hanya 65 ribu orang per hari.

 

“Layanan operasional pun telah menunjukkan ketepatan waktu 99,8% meliputi waktu tempuh, kedatangan, dan waktu keberangkatan kereta,” ungkap William.

 

MRT Jakarta bahkan sempat meraup laba sebesar Rp 60-70 miliar pada sembilan bulan pertama operasional. Atas capaian ini, William menargetkan MRT Jakarta dapat mengeruk laba sebesar Rp 200-250 miliar pada 2020, dan keuntungan sebesar Rp 300-350 miliar pada 2021 mendatang.

 

“Harus optimistis, kita melihat potensi-potensi pendaanaan karena kita sudah menjual lima stasiun untuk naming right dan ada potensi untuk menjual tujuh stasiun lagi,” ungkap William.

 

Atas kesuksesan pembangunan maupun operasional di fase pertama, saat ini MRT Jakarta melanjutkan pengembangan ke fase berikutnya. Proyek pembangunan MRT Jakarta fase 2 membentang sepanjang sekitar 11,8 kilometer dari kawasan Bundaran HI hingga Ancol Barat. Dengan hadirnya fase 2 ini, total panjang jalur utara—selatan menjadi sekitar 27,8 kilometer dengan total waktu perjalanan dari Stasiun Lebak Bulus hingga Stasiun Kota sekitar 45 menit. Jarak antarstasiun sekitar 0,6—1 kilometer dengan sistem persinyalan menggunakan CBTC dan sistem operasi otomatis tingkat 2.

 

Fase 2 terdiri dari dua tahap, yaitu fase 2A dan fase 2B. Fase 2A terdiri dari tujuh stasiun bawah tanah Thamrin, Monas, Harmoni, Sawah Besar, Mangga Besar, Glodok, dan Kota, dengan total panjang jalur sekitar 5,8 km. Sedangkan Fase 2B terdiri dari dua stasiun bawah tanah (Mangga Dua dan Ancol) dan satu depo di Ancol Barat dengan total panjang jalur sekitar 6 km. Pekerjaan konstruksinya dibagi ke dalam tiga paket kontrak atau Contract Package (CP) yaitu

 

  • CP 201 untuk membangun Stasiun Thamrin dan Monas serta jalur sepanjang 2,7 kilometer.
  • CP 202 untuk membangun Stasiun Harmoni, Sawah Besar, dan Mangga besar serta jalur sepanjang 1,8 kilometer.
  • CP 203 untuk membangun Stasiun Glodok dan Kota serta jalur sepanjang 1,3 kilometer.

 

Sedangkan paket kontrak lainnya meliputi CP 205 untuk sistem elektrikal dan mekanikal serta rel, CP 206 untuk pengadaan kereta dengan rencana 42 unit (tujuh rangkaian), dan CP 207 untuk pekerjaan Automatic Fare Collection (AFC).

 

Untuk kontrak CP 201, PT MRT Jakarta menyerahkan mandat kepada BUMN karya yakni PT Adhi Karya (Persero) Tbk untuk membangunnya. Adhi juga membentuk konsorsium bersama dengan perusahaan Jepang yakni Shimizu Corporation yang juga ikut membangun MRT Jakarta di fase pertama. Perjanjian itu ditandai dengan agenda penandatanganan kontrak pembangunan proyek transportasi Moda Raya Terpadu (MRT) Fase 2A.

 

Penandatanganan kontrak senilai Rp 4,5 triliun itu dilakukan pada Februari 2020 oleh Direktur Konstruksi Silvia Halim dan Shimizu-Adhi Karya Joint Venture yang diwakili oleh Yutaka Okumura. Juga disaksikan oleh Duta Besar Jepang untuk RI Masafumi Ishii, Direktur Utama MRT Jakarta William Sabandar, dan JICA Chief Representative RI Yamanaka Shinichi, dan Direktur Utama Adhi Karya pada saat itu, Budi Harto.

 

Hingga Oktober 2020, pembangunan MRT Jakarta Fase 2A terus berjalan dengan pengerjaan untuk paket CP 201 (Bundaran HI – Monas) yang sudah mencapai 8,38% dan digenjot dengan target rampung pada Desember 2024. Kendati begitu, pembangunan sisa paket kontrak lain yakni CP 202 dan CP 203 terancam mundur dari target penyelesaian Maret 2026 menjadi Agustus 2027. Hal ini terjadi karena masalah tender yang gagal di sejumlah paket pengerjaan pada segmen 2 (Harmoni-Kota). Disebutkan oleh William bahwa kontraktor Jepang tak berminat lagi untuk menggarap segmen tersebut.

 

“Akibat ada tender delay, tendernya kami harus ulang. Waktu segmen 1 (Bundaran HI-Harmoni) itu satu kali tender kami dapat. Di segmen 2 ini ada dua kali tender, delay, sehingga segmen 2 ini Harmoni-Kota ditargetkan bergeser ke pertengahan 2027 atau lebih,” ungkap William, dikutip dari Antara, Senin (19/10/2020).

 

Pihak MRT menganalisa ada tiga faktor yang membuat tender kedua juga tak dilirik oleh investor Jepang. Faktor-faktor itu, antara lain keterbatasan sumber daya, pandemi Covid-19, dan jadwal konstruksi cukup ketat. Jika investor Jepang tak juga berminat untuk terlibat dalam pengerjaan MRT Fase 2A, maka pemerintah perlu membuka kemungkinan partisipasi kontraktor internasional non Jepang. Tentunya, MRT Jakarta akan kembali berkolaborasi dengan kontraktor nasional dan tak menutup kemungkinan akan menjalin kerja sama dengan BUMN lagi.

 

WIKA & HK Bangun Fase I

Rangkaian kereta MRT Jakarta persiapan masuk Stasiun Cipete Raya. Foto: Railway Enthusiast Digest
Rangkaian kereta MRT Jakarta persiapan masuk Stasiun Cipete Raya. Foto: Railway Enthusiast Digest

Mengingat lagi pembangunan fase 1, sebagian dari konstruksi jalurnya merupakan struktur layang atau elevated yang membentang sepanjang kurang lebih 10 km, dari wilayah Lebak Bulus hingga Sisingamangaraja. Tujuh stasiun layang konstruksi ini adalah Lebak Bulus, Fatmawati, Cipete Raya, Haji Nawi, Blok A, Blok M dan Sisingamangaraja. Depo kereta api dibangun di area Lebak Bulus, berdekatan dengan stasiun awal/akhir Lebak Bulus. Seluruh stasiun penumpang dan lintasan dibangun dengan struktur layang yang berada di atas permukaan tanah, sementara Depo kereta api dibangun di permukaan tanah (at grade).

 

Tipe struktur layang yang akan digunakan adalah tiang tunggal (single pier) pada bagian bawah serta Gelagar Persegi Beton Pracetak (Precast Concrete Box Girder) pada bagian atas. Ketinggian gelagar dari permukaan jalan telah memperhitungkan persyaratan minimal jarak bebas vertikal (vertical clearance) setinggi 5 meter sesuai peraturan yang berlaku untuk jalan perkotaan. Pekerjaan konstruksi layang MRT Jakarta terdiri dari tiga paket, yaitu CP 101, CP 102 dan CP 103.

 

Sementara untuk konstruksi bawah tanah atau underground, koridor fase 1 dari MRT Jakarta membentang sepanjang kurang lebih 6 km, yang terdiri dari terowongan MRT bawah tanah dan enam stasiun MRT bawah tanah. Stasiun bawah tanah ini di antaranya Senayan, Istora, Bendungan Hilir, Setiabudi, Dukuh Atas, dan Bundaran Hotel Indonesia. Metode pengerjaan konstruksi bawah tanah menggunakan Tunnel Boring Machine (TBM) tipe Earth Pressure Balance Machine (EPB), dengan pembagian koridor paket pengerjaan terbagi menjadi tiga, yakni CP 104, CP 105 dan CP 106.

 

BUMN Karya yang mendapatkan jatah pengerjaan CP fase 1 ialah PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Hutama Karya (Persero). Emiten konstruksi WIKA mendapatkan kontrak dua paket pengerjaan konstruksi jalur layang MRT yang menghubungkan Lebak Bulus, Fatmawati dan Cipete. Untuk mengerjakan paket tersebut, WIKA membentuk konsorsium dengan Tokyu dari Jepang. Penunjukkan itu tertulis melalui Letter of Acceptance No: 459/DIR-MRT/IX/2013 dan No. 460/DIR-MRT/IX/2013 tanggal 6 September 2013.

 

Secara rinci, konsorsium WIKA-Tokyu membangun satu unit Depo, satu lot Gedung Fasilitas Depo, Elevated Railway sepanjang 1,2 km dan satu unit Elevated Station senilai 5,953 miliar yen dan Rp 1,016 triliun. Sedangkan paket CP102, meliputi pekerjaan dua unit Elevated Station dan Elevated Railway sepanjang 4,7 km dengan nilai kontrak 2,238 miliar yen dan Rp 898,199 milyar.

 

Tak hanya itu, WIKA juga ditugaskan untuk membangun paket CP104 dan CP105. Pada paket CP104, konsorsium WIKA bersama Jaya Konstruksi serta Obayashi dan Shimizu dari Jepang, mengerjakan area transisi dari konstruksi layang ke konstruksi bawah tanah berkedalaman 30 meter dari Senayan sampai Istora sepanjang 1,8 km sebesar 1,4 miliar yen dan Rp 846,2 miliar. Sementara, paket CP105 termasuk konstruksi dari Bendungan Hilir menuju Setiabudi dengan panjang jalur sekitar 2 km senilai 1,055 miliar yen dan Rp 959,6 milyar.

 

PT Hutama Karya atau HK juga mendirikan konsorsium untuk mengurusi pembangunan paket CP 106 bersama dengan Sumitomo dan Mitsui bernama SMCC – HK JO. Konsorsium tersebut juga memperkenalkan TBM atau mesin bor bernama Mustika Bumi I dan Mustika Bumi II yang akan menggali dan membuat struktur terowongan dari Dukuh Atas hingga Bundaran Hotel Indonesia.

 

Sedangkan untuk CP107 yang merupakan sistem perkeretaapian (railway system) dan pekerjaan rel (trackwork) dikerjakan oleh Metro One Consortium (MOC) yaitu Mitsui & Co. – Tokyo Engineering Corporation – Kobe Steel, Ltd – Inti Karya Persada Tehnik) dan CP108 untuk rolling stock oleh Sumitomo Corporation.

 

Sistem perkeretaapian MRT Jakarta digadang-gadang menggunakan sistem persinyalan terbaru di Indonesia dengan memperkenalkan sistem persinyalan Communication Based Train Control (CBTC) dan menerapkan sistem moving block untuk pengaturan perjalanan kereta. Pekerjaan Railway Systems & Trackwork dan Rolling Stock MRT Jakarta terdiri dari dua paket, yaitu CP 107 dan CP 108.

 

Pembangunan jalur MRT fase 1 menjadi awal sejarah pengembangan jaringan terpadu dari sistem MRT yang merupakan bagian dari sistem transportasi massal DKI Jakarta pada masa yang akan datang. Pengembangan selanjutnya meneruskan jalur Bundaran HI menuju Ancol (disebut jalur Utara-Selatan) yang saat ini sudah memasuki tahap konsturksi serta pengembangan jalur Timur-Barat.

 

Foto Utama: dok. MRT Jakarta

BERITA TERKAIT

ads-sidebar
ads-custom-4

BACA JUGA

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU