Rabu, 1 Mei 2024

Ancang-Ancang Industri Mobil Listrik, BUMN Genjot Produksi Nikel

ads-custom-5

Penggunaan energi fosil kini beralih menuju penggunaan energi baru terbarukan, seiring dengan munculnya teknologi kendaraan bertenaga listrik seperti mobil. Industri mobil listrik pun terlihat menjanjikan dengan kehadiran sejumlah perusahaan manufaktur dunia yang mulai berfokus pada produksi mobil bertenaga baterai itu.

 

Untuk menjadi bahan bakar dari kendaraan listrik, nikel menjadi komponen utama dalam pembuatan baterai atau lebih dikenal sebagai lithium battery. Nikel sendiri dilansir dari Tagar.id merupakan hasil tambang yang termasuk dalam kategori logam, di mana bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, baterai, uang logam, alat makan, dan sebagainya.

 

Dengan meningkatnya permintaan nikel dunia untuk pengembangan industri mobil listrik, maka Indonesia digadang menjadi salah satu negara yang akan paling diuntungkan. Hal ini mengingat Indonesia memasok 27% pasokan nikel dunia. Berdasarkan catatan CNBC Indonesia, produk hulu bijih nikel Tanah Air mencapai 50 juta ton per tahun dan produk hilir seperti feronikel (FeNi), NPI, Matte sebanyak 907 ribu ton.

 

Harga nikel juga mengalami kenaikan yang signifikan dalam setahun terakhir. Harga di sisi hilir seperti bijih nikel dihargai sekitar US$ 40-45 per ton, sedangkan untuk produk hilir seperti FeNi bisa menyentuh US$ 17 ribu per ton. Potensi cadangan nikelnya sendiri menguasai 23,7% cadangan dunia, dengan total cadangan sebanyak kurang lebih 9 miliar metrik ton. Jumlah itu mencukupi pasokan nikel dunia untuk tujuh hingga delapan tahun ke depan.

 

Kendati demikian, Pemerintah memutuskan untuk menghentikan eskpor bijih nikel per 1 Januari 2020 lalu. Padahal RI sendiri merupakan eksportir nikel nomor 6 dari 10 negara produsen nikel terbesar di dunia dalam dekade ini. Hal ini didasari niat pemerintah untuk menggenjot produksi hilir dengan mengoptimalkan pengolah atau smelter yang sudah ada dan sedang dalam tahap pembangunan hingga 2022 mendatang. Salah satunya untuk melejitkan industri baterai kendaraan listrik.

 

Masterplan pengembangan industri baterai kendaraan listrik itu nantinya akan mengacu padaPeraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 Tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Battery Untuk Transportasi Jalan. Untuk mendukungnya, terhitung mulai 1 Januari lalu, biji nikel dengan kadar di bawah 1,7% tidak lagi diperbolehkan untuk diekspor. Sebagai informasi, baterai lithium ion membutuhkan biji nikel kadar rendah (kandungan nikel 0,8-1,5%) atau limonite sebagai bahan bakunya.

 

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan bahwa akan ada 41 unit smelter nikel yang akan beroperasi pada 2021 mendatang. Saat ini masih ada sekitar 20 unit smelter yang tengah berada di fase pembangunan.

 

“Karena smelter nikel sudah banyak, pemerintah ingin mempercepat dan bergerak mengambil inisiatif menghentikan ekspor nikel,” tutur Bambang dikutip dari Majalah Tempo.

 

Antam Produsen yang Prospektif

Ilustrasi kegiatan di pabrik nikel PT Aneka Tambang (Persero). Foto: PETROMINER/Sony
Ilustrasi kegiatan di pabrik nikel PT Aneka Tambang (Persero). Foto: PETROMINER/Sony

Indonesia sendiri memiliki 27 perusahaan pengolah nikel yang tersebar di seluruh Nusantara. Dua dari produsen tersebut merupakan anak usaha dan perusahaan afiliasi dari PT Indonesia Aluminium (Persero), induk holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tambang. Keduanya adalah PT Aneka Tambang dan PT Vale Indonesia.

 

Seperti diketahui, PT Aneka Tambang atau lebih dikenal sebagai Antam menjadi anggota holding BUMN tambang pada 2016 silam, bersama dengan PT Timah dan menyusul PT Freeport Indonesia. Antam yang memproduksi nikel jenis produk hilir FeNi ini memiliki smelter eksisting dengan kapasitas input bijih nikel sebesar 2.700.000 ton per tahun. Dengan input sebanyak itu, Antam mengolahnya dengan output sekitar 135.000 ton produk hilir.

 

Di tahun ini, Antam optimistis dapat meningkatkan marjin keuntungan dari bisnis nikel. Sekretaris Perusahaan Antam Kunto Hendrapawoko memaparkan, proyeksi tersebut didasarkan pada membaiknya kondisi ekonomi global serta tumbuhnya tingkat permintaan nikel.

 

“Hal tersebut sejalan dengan upaya Antam untuk meningkatkan daya saing usaha melalui penurunan biaya tunai produksi serta implementasi kebijakan strategis terkait inisiatif efisiensi biaya yang tepat dan optimal,” kata Kunto, Kamis (23/7).

 

Tercatat oleh perusahaan, tingkat biaya tunai unaudited untuk FeNi sepanjang semester I 2020 mencapai 3,33 US$ per pon nikel. Capaian tersebut membuat Antam termasuk dalam kelompok produsen FeNi global berbiaya rendah. Adapun, untuk kuartal II 2020, Antam mencatatkan produksi FeNi unaudited sebesar 6.447 ton feronikel (TNi), naik 2% secara kuartalan dari 6.315 TNi. Sedangkan penjualan unaudited feronikel pada kuartal II mencapai 6.867 TNi, tumbuh sebesar 11% dibandingkan kuartal sebelumnya.

 

Sementara itu, Antam berhasil membukukan penjualan bijih nikel sebesar 168 ribu WMT pada kuartal II/2020, memperbaiki kinerja tiga bulan pertamanya yang gagal membukukan penjualan. Dengan demikian, sepanjang paruh pertama tahun ini produksi bijih nikel perseroan mencapai 1,37 juta WMT dengan tingkat penjualan mencapai 168 ribu WMT.

 

Maka dari itu, dilansir dari Kontan.co.id, peneliti Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman mengatakan, nikel emiten berkode saham ANTM tersebut memiliki prospek yang mentereng. Apalagi mengingat mereka memiliki pasokan nikel berkalori rendah sehingga cocok sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.

 

“Melihat hal itu ANTM memiliki masa depan yang cukup bagus mengingat ke depannya produksi mobil listrik akan meningkat,” ungkap Ferdy.

 

Inalum Gaet Vale

Ilustrasi PT Vale Indonesia Tbk. Foto: Istimewa
Ilustrasi PT Vale Indonesia Tbk. Foto: Istimewa

Sementara PT Vale Indonesia atau Vale baru saja diakuisisi sebagian saham divestasinya oleh Inalum sebesar 20% pada Juni tahun ini. Pembelian ini terjadi setelah Vale Canada Limited berencana melepas 14,9% kepemilikan saham dan Sumitomo Metal Mining sebesar 5,1% seharga Rp 2.780 per saham atau senilai total Rp 5,52 triliun. Transaksi penjualan ini ditargetkan rampung pada akhir 2020.

 

PT Vale Indonesia atau PTVI sendiri merupakan perusahan tambang dan pengolahan nikel terintegrasi yang beroperasi di Blok Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan. PTVI merupakan entitas dari Vale, perusahaan multitambang asal Brasil yang beroperasi di 30 negara dengan total pekerja dan kontraktor di seluruh unit bisnisnya mencapai 110.000 orang. PTVI dinilai merupakan salah satu pemain sektor nikel terbesar di dunia.

 

PTVI memproduksi jenis produk hilir Matte NPI dengan kandungan 10% nikel dan memiliki smelter eksisting dengan kapasitas input bijih nikel sebesar 8.000.000 ton per tahun. Dengan input sebanyak itu, PTVI menjadi produsen nikel dengan input bijih terbesar di Indonesia. Perusahaan kemudian mengolahnya dengan output sekitar 80.000 ton Matte NPI per tahun.

 

Emiten berkode saham INCO tersebut hingga semester I – 2020 mencatatkan total produksi nikel Matte sebanyak 36.315 metrik ton. Adapun produksi semester I tahun ini meningkat sebesar 18% dibandingkan produksi di periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sementara di sisi pengiriman juga ikut meningkat 19% dibandingkan produksi dan pengiriman pada semester I 2019.

 

Setelah direkap, total penjualan PTVI di semester I – 2020 tercatat sebesar US$ 360,37 juta, meningkat cukup tajam jika dibandingkan dengan semester yang sama di tahun sebelumnya yang hanya sebesar US$ 292,25 juta. Sementara untuk laba bersih, selama semester I tahun ini, perusahaan meraup US$ 53,1 juta, dari sebelumnya merugi US$ 26,2 juta di semester I – 2019.

 

Dilansir dari Kontan.co.id, Direktur Keuangan PTVI Bernardus Irmanto mengungkapkan, pihaknya optimistis bisa membukukan kinerja yang positif di sisa tahun ini. Ini karena dari sisi operasional, ia memproyeksikan volume produksi dan penjualan nikel dalam matte bisa lebih tinggi dari target tahun ini yang berada di sekitar 71.000 ton. Optimisme ini lahir setelah PTVI memundurkan kick-off proyek pembangunan ulang tungku atau furnance 4 rebuild ke Kuartal II-2021 akibat pandemi Covid-19. Makanya, saat ini perusahaan masih bisa beroperasi dengan empat furnance sampai akhir tahun nanti.

 

“Karena pengunduran proyek furnace 4, produksi dan penjualan diharapkan lebih tinggi dari rencana. Yang jelas diharapkan akan lebih tinggi dari 71.000 ton,” jelas Bernardus, Minggu (9/8/2020).

 

Secara jangka panjang, PTVI juga dinilai sangat prospektif. Saat ini mereka tengah mengembangkan pabrik feronikel di Bahodopi. Proyek tersebut bernilai sebesar US$ 1,6 miliar dan konstruksi diharapkan mulai pada tahun 2021 dengan kapasitas produksi 70.000 ton. Sementara itu, proyek pabrik pengolahan bijih nikel di Pomalaa dengan teknologi high pressure acid leaching process (HPAL), atau teknologi yang dapat mengubah bijih nikel oksida tingkat rendah, juga tengah disiapkan. HPAL untuk bahan baku baterai dengan biaya investasi US$ 2,5 miliar itu akan memiliki kapasitas produksi sebanyak 40.000 ton.

 

Investasi Menjanjikan

pengisian mobil listrik

Di luar tambang, BUMN lain juga ikut merespons permintaan nikel untuk baterai kendaraan listrik ini, PT Pertamina (Persero) misalnya. Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati menegaskan pihaknya sangat terbuka untuk membangun pabrik baterai kendaraan listrik di Indonesia. Rencana ini akan direalisasikan dengan kerja sama antara Pertamina, PT Inalum dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.

 

“Pertamina akan masuk ke bisnis, membangun pabrik baterai electronic vehicle (EV). Kami sudah kerja sama dengan timnya Inalum dan juga PLN bersama-sama membangun pabrik baterai. Indonesia punya sangat banyak bahan baku,” ungkap Nicke di sela-sela konferensi video di Jakarta, Senin (10/8/2020).

 

Menurut Nicke, pada kerjasama strategis ini, Inalum akan bertugas mengurusi sektor hulu sebagai pemasok bahan baku nikelnya. Sementara, PLN akan fokus di sektor hilir sebagai distributor, dan Pertamina menjadi penengah dengan bertugas untuk menyiapkan prosesnya.

 

“Jadi baterai ini bukan hanya untuk transportasi tapi bisa digunakan remote area untuk rumah. Suplai listrik menjadi baterai, solar EV misalnya bisa digunakan sebagai distributor di area yang tidak perlu storage besar, hanya butuh backup power system bersifat modular,” jelasnya.

 

Jika melihat sinergisitas antar BUMN ini untuk mengembangkan industri baterai kendaraan listrik ini, maka bukan tak mungkin Indonesia menjadi bos besar. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan optimistis bahwa hilirisasi mineral dapat menjadikan Indonesia sebagai pemain utama dalam pasar baterai lithium. Apalagi jika mampu menopang perekonomian nasional pasca pandemi Covid-19.

 

“Saya tidak mengatakan hilirisasi sendiri, karena semua harus paralel. Tapi dengan hilirisasi ini paling tidak sudah menyumbang perkiraan untuk tahun ini sebesar 10 miliar dolar AS. Itu angka yang besar,” tutur Luhut.

 

Dengan menguasai 80% bahan baku yang ada sebagai syarat diproduksinya baterai itu, investasi dari berbagai belahan dunia akan berdatangan. Sebagai informasi, Eropa akan total mengalihkan energi fosil untuk kendaraan menjadi energi listrik pada 2030 mendatang.

 

Baru-baru ini, Hyundai Motor Group bekerja sama dengan LG Chem Ltd berencana membangun pabrik baterai di Indonesia. Kedua perusahaan teknologi kendaraan asal Korea Selatan itu tak tanggung-tanggung menggelontorkan investasi yang mencapai US$ 9,8 miliar atau setara Rp 144 triliun.

 

Diwawancarai CNBC Indonesia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa pembangunan pabrik baterai oleh Hyundai-LG ini akan pertama kalinya menjadi yang terbesar dan terintegrasi di dunia. Pabrik baterai itu akan dibangun dari hulu sampai hilir.

 

“Ini perusahaan pertama di dunia yang terintegrasi, dari proses tahap pertama sampai dengan jadi baterai. Investasinya nggak main-main, US$ 9,8 billion. (Investasi) ini bertahap dan sudah 80% kita bicarakan,” tutur Bahlil, Kamis (23/7/2020).

 

Semoga dengan masuknya investasi korporasi Korea Selatan ini, memunculkan efek domino bagi negara dan kontinen lain untuk mengeruk potensi industri kendaraan listrik yang Tanah Air miliki.

BERITA TERKAIT

ads-sidebar
ads-custom-4

BACA JUGA

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU