Sabtu, 27 April 2024

Akan Digabung, Masa Depan BUMN Bank Syariah Diprediksi Cerah

ads-custom-5

Kian hari, kian banyak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang saling bersinergi, baik itu berinovasi, berekspansi, hingga membuat perusahaan patungan. Sejumlah BUMN juga akhirnya disatukan dalam suatu holding besar maupun subholding yang dibentuk oleh Kementerian BUMN, bahkan penggabungan sejumlah badan usaha menjadi satu mega korporasi. Hal ini bertujuan agar kinerja masing-masing Perseroan dapat digenjot lebih maksimal jika bersatu, apalagi bergerak dalam bidang bisnis yang sama.

 

Awal Juli 2020, mencuat kembali isu rencana penggabungan BUMN bank syariah yang bernaung di bawah Himbara. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kemudian mengkonfirmasi rencana merger tersebut. Menurut Menteri BUMN Erick Thohir, hingga saat ini progres merger tersebut masih dalam kajian. Ia menargetkan proses merger akan rampung pada Februari 2021 mendatang. Adapun bank syariah yang dimaksud adalah PT Bank BRI Syariah Tbk, PT Bank BNI Syariah, PT Bank Mandiri Syariah, dan Unit Usaha Syariah PT Bank Tabungan Negara Tbk.

 

“Beberapa bank syariah jadi satu. Insya Allah Februari tahun depan jadi satu,” ungkap Erick dalam konferensi virtual, Kamis (2/7) lalu.

 

Dilansir dari Kontan.co.id, rencana penggabungan bank syariah pelat merah sebenarnya sudah bergulir sejak awal 2019 lalu, di mana program merger ini dibuat Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) dengan tujuan untuk mempercepat, memperluas, dan memajukan pengembangan keuangan syariah.

 

Saat itu KNKS sedang mengkaji alternatif lain untuk percepatan pertumbuhan perbankan syariah melalui beberapa cara. Pertama, pembentukan bank investasi syariah. Kedua, konversi bank konvensional atau BPD. Ketiga, pembentukan holding bank BUMN syariah. Keempat, setoran modal langsung pemerintah ke bank syariah. Poin ketiga inilah yang sebentar lagi akan ditempuh Kementerian demi mengerek potensi perbankan syariah di Indonesia.

 

Kelembagaan Bank Syariah

Ilustrasi BUMN Bank Syariah. Foto: CNBC Indonesia
Ilustrasi BUMN Bank Syariah. Foto: CNBC Indonesia

Menurut Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bank syariah merupakan bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau prinsip hukum islam yang diatur dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Misalnya, prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme (alamiyah), serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zal im dan obyek yang haram. Selain itu, UU Perbankan Syariah juga mengamanahkan bank syariah untuk menjalankan fungsi sosial dengan menjalankan fungsi seperti lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif).

 

Dilansir dari laman resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sistem dan mekanisme untuk menjamin pemenuhan kepatuhan syariah menjadi isu penting dalam pengaturan bank syariah. Dalam kaitan ini lembaga yang memiliki peran penting adalah Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan kewenangan kepada MUI yang fungsinya dijalankan oleh organ khususnya yaitu DSN-MUI untuk menerbitkan fatwa kesesuaian syariah suatu produk bank. Kemudian Peraturan Bank Indonesia (sekarang POJK) menegaskan bahwa seluruh produk perbankan syariah hanya boleh ditawarkan kepada masyarakat setelah bank mendapat fatwa dari DSN-MUI dan memperoleh ijin dari OJK.

 

Di Indonesia sendiri, bank syariah dibedakan menjadi Bank Umum Syariah (BUS) yang sudah berbentuk perusahaan sendiri, Unit Usaha Syariah (UUS) yang masih berupa unit usaha dalam suatu perusahaan perbankan, dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan biasanya bersifat lokal. Ada sebanyak 12 BUS, 22 UUS, dan 164 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang tercatat dalam database OJK.

 

Sementara untuk BUMN sendiri, ada tiga BUS dan satu UUS. BUS tersebut adalah PT Bank Syariah Mandiri milik PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT BRI Syariah milik PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, dan PT BNI Syariah milik PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Sedangkan satu UUS merupakan unit usaha milik PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN. Keempat bank syariah itulah yang akan diintegrasikan ke dalam satu holding besar.

 

Bank Syariah Saat Ini

Ilustrasi Bank Mandiri Syariah. Foto: dok. Bank Mandiri Syariah
Ilustrasi Bank Mandiri Syariah. Foto: dok. Bank Mandiri Syariah

Berdasarkan perhitungan OJK, jika dibandingkan dengan perbankan konvensional, market share perbankan syariah saat ini masih sekitar 6%. Pembiayaan atau kredit sebesar 6,38%, dana pihak ketiga atau dana masyarakat yang berhasil dihimpun sekitar 6,7%.

 

Secara rinci, seluruh bank syariah milik negara mengalami peningkatan kinerja yang cukup membanggakan selama kuartal I 2020. Pertama, PT Bank Syariah Mandiri memiliki aset perusahaan sebesar Rp 114,75 triliun, naik 16,43% dari periode yang sama di tahun sebelumnya atau year-on-year (yoy). Laba bersih yang berhasil mereka raup di peirode yang sama adalah sebesar Rp 368 miliar, naik 51,53%. Sementara dana pihak ketiga (DPK) yang mereka himpun sebesar Rp 101,92 triliun, naik 16,94% dan pembiayaan senilai Rp 75,7 triliun, naik 9,14% secara yoy.

 

Kedua, PT Bank BNI Syariah memiliki aset senilai Rp 51,12 triliun, naik 16,2% secara yoy. Laba bersih yang berhasil diraup sebesar Rp 214 miliar atau naik 58,1%. Sementara DPK yang dihimpun senilai Rp 44,85 triliun, naik 16,6% dan pembiayaan yang mereka salurkan sebesar Rp 32,32 triliun atau naik 9,8% yoy.

 

Ketiga, PT Bank BRI Syariah yang memiliki aset senilai Rp 42,2 triliun atau naik 9,51% dari periode yang sama di tahun sebelumnya. Tercatat juga laba bersih yang didapat sebesar Rp 75,15 miliar atau melonjak sebesar 150% yoy. DPK yang terhimpun sebesar Rp 16,86 triliun. dan pembiayaan yang disalurkan sebesar Rp 30,45 triliun.

 

Terakhir, UUS PT Bank Tabungan Negara yang menyimpan aset perusahaan senilai Rp 28,79 triliun atau naik sebesar 3,4% yoy dengan laba bersih sebesar Rp 86,55 M, naik 185,77%. Untuk DPK, pihaknya menyimpan dana sebesar Rp 20,93 triliun atau mengalami penurunan sebesar 3,39%, tapi di sektor pembiayaan, UUS BTN telah menyalurkan Rp 23,92 triliun atau naik sebesar 6,59% sepanjang kuartal I 2020.

 

Saat ini, di antara bank syariah lainnya, Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah dan Bank BRI Syariah masuk ke jajaran lima besar bank syariah terbaik di Indonesia dilihat dari sisi aset. Sementara tercatat dalam Statistik Perbankan Syariah milik OJK, dari seluruh bank syariah memiliki total aset sebesar Rp 534 triliun per April 2020, empat bank syariah pelat merah memiliki total aset senilai Rp 236,8 triliun atau 44%. Sehingga BUMN bank syariah masih harus berjuang secara individual untuk merebut pangsa pasar. Bahkan, UUS BTN mesti berlomba dengan BPRS daerah seperti PT Bank Aceh Syariah.

 

Namun jika keempatnya resmi tergabung dalam satu korporasi besar, perusahaan merger ini akan menggeser bank syariah swasta dan daerah dan bertengger di posisi satu bank syariah terbesar di Indonesia. Bukan tidak mungkin, perusahaan akan menjadi pesaing ketat bank-bank konvensional yang sudah merajai peringkat market share. Bank syariah hasil merger ini akan masuk 10 besar bank dengan aset terbesar di Indonesia, dengan peringkat ke-7 di bawah Bank CIMB Niaga dan di atas Bank OCBC NISP.

 

Benefit Setelah Merger

Ilustrasi Bank Syariah. Foto: SindoNews
Ilustrasi Bank Syariah. Foto: SindoNews

Rencana merger BUMN bank syariah ini diprediksi mampu memberikan dampak yang sangat besar bagi sektor keuangan syariah di Indonesia, khususnya perbankan syariah. Praktisi ekonomi syariah yang kini menjabat sebagai CEO Grup Syailendra Asia yakni Salina Nordin menyebutkan jika merger ini terealisasi, maka Indonesia akan memiliki entitas bank syariah sebesar Dubai Islamic Bank di Uni Emirat Arab (UEA).

 

Sebagai informasi, Dubai Islamic Bank mampu menarik sebanyak 55% konsumen perbankan di UEA pada 2019. Persentase ini naik dibandingkan pada 2015 yang hanya 47%. Bank tersebut mampu bersaing dengan bank konvensional dengan lini bisnis multi dimensi. Bahkan menurut Salina, nasabah yang non-muslim sangat banyak, menunjukkan bahwa bank itu bersih, transparan dan sangat kompetitif dalam bersaing dengan bank konvensional. Ini yang menurut Salina harus dipelajari oleh Indonesia jika ingin memajukan perbankan syariah. Salina berpendapat yang utama dari merger bank syariah BUMN adalah adanya penerapan prosedur baru yang menjamin perbaikan pelayanan pada nasabah serta azas keterbukaan dan transparansi dalam pengelolaan dana nasabah.

 

“Merger bank syariah BUMN adalah langkah positif dalam memperkuat sinergi dan bisa memberikan pelayanan yang lebih bersih dan produk yang lebih menarik. Bank syariah harusnya lebih kuat, transparan dan bersih,” ucapnya dalam keterangan resmi, Selasa (28/7/2020).

 

Pakar Perbankan Syariah M. Syafii Antonio juga memiliki pemikiran yang sama bahwa rencana ini bakal mendongkrak kualitas dunia perbankan nasional. Terlebih keempat bank syariah itu memiliki target market yang berbeda. Seperti Bank Syariah Mandiri yang menyasar pasar di bidang pendidikan, kesehatan, haji dan umroh dan BRI Syariah yang membidik pasar UMKM. Sementara BNI Syariah membidik pasar untuk korporasi dan BTN Syariah yang unggul di fasilitas pembiayaan KPR Syariah.

 

“Ada 4 pasar dengan strategi dan arah sendiri. Kalau jadi satu policy, produk, karyawan menyatu jadi tidak akan terjadi kanibalisme, bisa menargetkan nasabah potensial,” tutur Syafii dilansir dari CNBC Indonesia.

 

Jika proses merger lancar, total aset seluruh bank syariah adalah sekitar Rp 537 triliun, Meski terlampau jauh dari total aset perbankan konvensional yang mencapai Rp 8.402 triliun, tapi tak nihil juga peluang bagi perbankan syariah untuk terus tumbuh, apalagi dari sisi pertumbuhan aset perbankan syariah selalu dua digit tiap tahunnya. Dalam tiga hingga empat tahun ke depan, Kementerian juga menargetkan market share keuangan syariah dari seluruh kegiatan perbankan bisa mencapai 20% dan mendapat predikat big beyond banking+ (BBB+).

 

Kementerian BUMN memperkirakan merger ini juga akan menempatkan BUMN bank syariah masuk ke jajaran delapan bank terbesar di Indonesia dari sisi aset, sehingga kemampuan penyaluran pembiayaannya juga akan meningkat karena bank akan masuk ke dalam daftar Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV, yang saat ini belum diraih bank syariah apapun. Setelah menjadi bank dengan kategori tersebut, maka korporasi itu akan memiliki akses jaringan yang lebih luas, baik di dalam maupun luar negeri. Potensi menyerap risk juga lebih besar sehingga ekspansi kredit bisa lebih luas.

 

Menimbang Hambatan

global islamic finance

Kendati menguntungkan, Syafii mengingatkan bahwa hal yang perlu disorot dari penggabungan ini adalah bank hasil merger masih mengalami kekurangan modal sebesar Rp 10 triliun untuk menjadi bank BUKU IV. Sementara untuk masuk ke dalamnya, diperlukan modal inti sebesar Rp 30 triliun. Sehingga dia menilai pemilik bank ada baiknya menyuntikkan modal lebih dahulu sebelum digabungkan.

 

“Saran saya sebelum digabung menjadi bank syariah BUMN, minta induk nambah Rp 4 triliun masing-masing, jadi tambahnya ada Rp 12 triliun. Tambah Rp 10 triliun ada Rp 32 triliun. Jadi bank yang dimerger masuk ke BUKU IV harus ditambah dulu, kalau dipisah dulu sudah ga jadi anak Mandiri, BNI dan BRI,” ungkapnya.

 

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah ikut menanggapi, perhatian utama yang jadi persoalan adalah soal ekosistem perbankan syariah itu sendiri. Bila bank syariah milik BUMN ini jadi digabungkan, maka tak bisa dipungkiri jumlah pemain bank syariah akan berkurang dan malah berisiko menimbulkan iklim persaingan usaha yang tidak sehat. Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan ekosistem karena jumlah bank syariah BUMN tidak banyak. Sehingga ia tidak setuju dengan adanya penggabungan.

 

“Pemain di perbankan syariah ini kan belum begitu banyak, baik itu bank syariah atau unit usaha syariah itu, digabungkan di BUMN menjadi satu, nah pemainnya nanti jadi berkurang lagi. Sehingga gairah dan persaingannya itu tidak cukup kondusif,” kata Piter dikutip dari Tirto.id.

 

Selain itu, mengutip Kumparan.com, Pengamat Ekonomi Syariah Institut Pertanian Bogor Irfan Syauqi Baek menambahkan, hal yang harus diperhatikan lagi adalah mulai dari restrukturisasi organisasi, konsolidasi internal, dan periode stagnasi karena harus ada penyesuaian internal. Salah satunya penyesuaiannya adalah teknologi yang digunakan masing-masing bank syariah ini. Penyatuan sistem teknologi antar bank akan memakan waktu, belum lagi efisiensi karyawan karena perusahaannya digabung.

 

“Biasanya makan waktu 1-2 tahun. Artinya selama itu, kita mungkin belum lihat progres yang signifikan. Akan tumbuh, tapi karena masih fase konsolidasi, mungkin pertumbuhannya tidak secepat yang kita harapkan kecuali ada terobosan signifikan,” terang Irfan.

 

Kendati menuai pro dan kontra serta ada pertimbangan baik dan buruknya, rencana ini masih dalam tahap kajian di Kementerian BUMN dan tetap mematok target perampungan konsolidasi merger bank BUMN pada Februari tahun depan. Diharapkan proses ini  berjalan secara lancar sehingga mampu mempercepat melesatkan dunia keuangan syariah nasional serta berdaya saing tinggi di pasar internasional seperti Malaysia, Dubai, Kuwait, dan Bahrain.

 

Foto Utama: Republika/Aditya Pradana Putra

BERITA TERKAIT

ads-sidebar
ads-custom-4

BACA JUGA

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU